Tokoh Kian Santang ini pertama kali
berhembus dan dikisahkan oleh Raden
Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang ketika menyebarkan islam di
tanah Cirebon dan Pasundan. Pangeran Cakrabuana adalah anak dari Prabu
Siliwangi atau Jaya Dewata raja Pajajaran, yang dilahirkan dari
permaisuri ketiga yang bernama Nyi Subang Larang. Subang Larang sendiri
murid dari mubaligh kondang yaitu Syeh Maulana Hasanudin atau terkenal
dengan Syeh Quro Karawang.
Mulanya yaitu, ketika Raden Walangsungsang memilih untuk pergi
meninggalkan Galuh Pakuan atau Pajajaran, yang disebabkan oleh perbedaan haluan dengan keyakinan ayahnya yang memeluk agama
“shangyang”, pada waktu itu. Diriwayatkan beliau berkelana mensyi’arkan
islam bersama adiknya yaitu Rara Santang (ibu dari Syarif Hidayatullah
atau “Sunan Gunung Jati”) dengan membuka perkampungan di pesisir utara
yang menjadi cikal-bakal kerajaan Caruban atau Kasunanan Cirebon yang
sekarang adalah “Kotamadya Cirebon”
Legenda Kian Santang sendiri diambil
dari sebuah kisah nyata, dari Tanah Pasundan tempo dulu yang ceritanya
pada waktu itu tersimpan rapi
berbentuk buku di perpustakaan Kerajaan Pajajaran.
Karena Pajajaran adalah hasil penyatuan
dua kerajaan antara Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sundapura, yang mana
Kerajaan Galuh dan Sundapura adalah dua kerajaan pecahan
dari Kerajaan Taruma Negara, yang dimasa Prabu Purnawarman yaitu raja
ketiga
dari Kerajaan Taruma Negara yang dipecah menjadi dua yaitu Tarumanegara
yang berganti Sundapura dan ibukota lama menjadi Galuh Pakuan. Dan Jaya
Dewata menyatukan kembali dua pecahan Kerajaan Taruma Negara menjadi
Pajajaran.
Dimana dikisahkan pada waktu itu yaitu
abad ke 4 M atau tahun 450 M
pernah terdapat putra mahkota yang sakti mandraguna bernama Gagak
Lumayung yang dalam ceritanya di tataran Sunda dan sekitarnya, tak ada
yang mampu mengalahkan ilmu kesaktiannya. Hingga suatu saat datang
pasukan dari Dinasti Tang yang hendak menaklukkan Kerajaan Taruma
Negara. Namun berkat Gagak Lumayung, pasukan Tang dapat dihalau dan
tunggang-langgang meninggalkan Taruma Negara. Semenjak itu Raden Gagak
Lumayung diberi sebutan ”KI AN SAN TANG” atau ”penakluk pasukan tang”.
Diceritakan Kian Santang ini karena
saking saktinya hingga dia rindu kepingin melihat darahnya sendiri.
Hingga sampailah di suatu ketika saat dia mendapat wangsit di
tapabratanya bahwa di tanah arab terdapat orang sakti mandraguna.
Konon: dengan ajian napak sancangnya Raden Kian Santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja.
Dalam ceritanya ketika sampai di pesisir, beliau bertemu seorang
kakek, dan padanya dia minta untuk ditunjukan dimana orang sakti yang Kian Santang maksud tersebut.
Dan dengan senang hati Si Kakek tersebut menyanggupinya dan sementara
dia mengajak Kian Santang untuk mampir dulu ke rumahnya.
Alkisah setelah sampai di rumahnya
tongkat dari sang kakek tersebut
tertinggal di pesisir dan minta Kian Santang untuk mengambilkanya, konon
dikisahkan Kian Santang tak mampu mencabutnya sampai tanganya
berdarah-darah, disitulah Kian Santang baru sadar kalau kakek itu adalah
orang yang di carinya.
Dan akhirnya dengan membaca kalimah
syahadat yang diajarkan sang kakek
tadi -yang akhirnya menjadi guru spiritualnya- tongkat tersebut dapat
dicabut dan siapakah kakek tersebut? Dia adalah tak lain dan tak bukan
Syaidina Ali R.A menantu dari baginda Nabi Muhammad S.A.W.
Cerita tersebut membumi sekali sampai
saat sekarang. Dan yang aneh,
kebanyakan orang menduga kalau Kian Santang itu adalah Raden
Walangsungsang. Padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah
Raden Walangsungsang tersebut, yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan
justru dialah yang dikira pelaku (Raden Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana) sebagai tokoh yang diceritakan itu. Tujuannya adalah hanya
sebagai media dakwah dan penyebaran islam di bumi Cirebon dan
sekitarnya.
Sehingga sampai sekarang banyak kalangan
yang menyangka Raden Walangsungsang adalah Kian Santang bahkan ada
yang menafikan Kian Santang adalah adik Cakrabuana dan kakak dari Rara
Santang.
Raden Walangsungsang mengambil cerita
ini dari perpustakaan Kerajaan Pajajaran dengan pertimbangan karena
kisah itu mirip dengan kisahnya, yang mana Kian Santang setelah pulang
dari arab dia ingin
meng-islam-kan ayahnya Prabu Purnawarman namun ditolaknya dan Kian
Santang memilih meninggalkan istana dan tahtanya di berikan adiknya
yaitu Darmayawarman.
Begitu pula Raden Walangsungsang yang pernah merantau ke Arab dan
menikahkan adiknya Rara Santang yang diambil istri oleh putra
kerajaan mesir waktu itu dan pernikahan berlangsung di Mesir yang dari
perkawinan inilah nanti akan lahirlah Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati.
Keinginan Walangsungsang untuk meng-islam-kan Prabu Siliwangi ditolak
mentah-mentah dan ayahnya tidak ingin bertarung dengan anaknya maka dia
memilih mensucikan diri atau bertapa, konon beliau menjelma macan putih.
Pengambilan kisah penokohan dalam sebuah
ceritra seperti ini sebenarnya
pernah pula terjadi pada era sebelum Raden Walangsungsang yang tepatnya
dilakukan oleh Raja Jaya Baya (Raja Islam pertama di Tanah Jawa) dari
Kerajaan Panjalu atau Kediri, dimana waktu masih dipegang Raja Airlangga
kerajaan tersebut bernama Kerajaan Kahuripan dan karena kedua
anaknya semua meminta tahta maka Kahuripan di bagi dua yaitu Panjalu dan
Jenggala. Sepanjang perkembangan dua kerajaan tersebut selalu
bermusuhan dan pada masa Kerajaan Panjalu dirajai oleh Jaya Baya,
Panjalu mampu menaklukkan Jenggala dan disatukan lagi antara Jenggala
dan Panjalu.
Pada waktu Panjalu menaklukkan Jenggala
rajanya Jaya Baya meminta Empu Sedha dan Empu Panuluh untuk mengutip
naskah dari India yang judulnya Mahabarata. Namun diverifikasi dengan
gaya Jawa. Sebagai perlambang
atas kemenangan perang saudara Panjalu atas Jenggala. Yang akhirnya
kitab tersebut diberi judul Barata Yuda. Dan dalam kisah klasik Jawa
ini banyak kalangan masarakat yang mengira bahwa Jaya Baya adalah
kelanjutan dari trah Barata yaitu cicit dari Parikesit putra Abimanyu.
Juga kisah lainnya yang serupa pernah
pula hadir ke masyarakat yang
tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan
ajaran syariat terhadap kaum sufi. Maka ketika bergerak menyebarkan
islam Wali Songo menurut banyak kalangan membuat cerita Al-Halaj versi
Indonesia yaitu Syeh Siti Jenar, yang menurut Doktor Simon dari UGM
berdasarkan temuannya karya-karya besar berupa naskah suluk dari Sunan
Kalijaga dan lain sebagainya. Dapat dipastikan tokoh Siti Jenar adalah
imajener hanya untuk media dakwah dan melindungi islam agar tetap pada
ajaran ahlusunah wa jamaah.
Dan sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi
perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli sejarah di tanah air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar