Kamis, 14 Maret 2013

SEJARAH RTADEN KIAN SANTANG

Kian Santang adalah tokoh tasawuf dari tanah Pasundan yang ceritanya melegenda khususnya di hati masarakat Pasundan dan kaum tasawuf di tanah air pada umumnya.
Tokoh Kian Santang ini pertama kali berhembus dan dikisahkan oleh Raden Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang ketika menyebarkan islam di tanah Cirebon dan Pasundan. Pangeran Cakrabuana adalah anak dari Prabu Siliwangi atau Jaya Dewata raja Pajajaran, yang dilahirkan dari permaisuri ketiga yang bernama Nyi Subang Larang. Subang Larang sendiri murid dari mubaligh kondang yaitu Syeh Maulana Hasanudin atau terkenal dengan Syeh Quro Karawang.
Mulanya yaitu, ketika Raden Walangsungsang memilih untuk pergi meninggalkan Galuh Pakuan atau Pajajaran, yang disebabkan oleh perbedaan haluan dengan keyakinan ayahnya yang memeluk agama “shangyang”, pada waktu itu. Diriwayatkan beliau berkelana mensyi’arkan islam bersama adiknya yaitu Rara Santang (ibu dari Syarif Hidayatullah atau “Sunan Gunung Jati”) dengan membuka perkampungan di pesisir utara yang menjadi cikal-bakal kerajaan Caruban atau Kasunanan Cirebon yang sekarang adalah “Kotamadya Cirebon”
Legenda Kian Santang sendiri diambil dari sebuah kisah nyata, dari Tanah Pasundan tempo dulu yang ceritanya pada waktu itu tersimpan rapi berbentuk buku di perpustakaan Kerajaan Pajajaran.
Karena Pajajaran adalah hasil penyatuan dua kerajaan antara Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sundapura, yang mana Kerajaan Galuh dan Sundapura adalah dua kerajaan pecahan dari Kerajaan Taruma Negara, yang dimasa Prabu Purnawarman yaitu raja ketiga dari Kerajaan Taruma Negara yang dipecah menjadi dua yaitu Tarumanegara yang berganti Sundapura dan ibukota lama menjadi Galuh Pakuan. Dan Jaya Dewata menyatukan kembali dua pecahan Kerajaan Taruma Negara menjadi Pajajaran.
Dimana dikisahkan pada waktu itu yaitu abad ke 4 M atau tahun 450 M pernah terdapat putra mahkota yang sakti mandraguna bernama Gagak Lumayung yang dalam ceritanya di tataran Sunda dan sekitarnya, tak ada yang mampu mengalahkan ilmu kesaktiannya. Hingga suatu saat datang pasukan dari Dinasti Tang yang hendak menaklukkan Kerajaan Taruma Negara. Namun berkat Gagak Lumayung, pasukan Tang dapat dihalau dan tunggang-langgang meninggalkan Taruma Negara. Semenjak itu Raden Gagak Lumayung diberi sebutan ”KI AN SAN TANG” atau ”penakluk pasukan tang”.
Diceritakan Kian Santang ini karena saking saktinya hingga dia rindu kepingin melihat darahnya sendiri. Hingga sampailah di suatu ketika saat dia mendapat wangsit di tapabratanya bahwa di tanah arab terdapat orang sakti mandraguna.
Konon: dengan ajian napak sancangnya Raden Kian Santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja.
Dalam ceritanya ketika sampai di pesisir, beliau bertemu seorang kakek, dan padanya dia minta untuk ditunjukan dimana orang sakti yang Kian Santang maksud tersebut.
Dan dengan senang hati Si Kakek tersebut menyanggupinya dan sementara dia mengajak Kian Santang untuk mampir dulu ke rumahnya.
Alkisah setelah sampai di rumahnya tongkat dari sang kakek tersebut tertinggal di pesisir dan minta Kian Santang untuk mengambilkanya, konon dikisahkan Kian Santang tak mampu mencabutnya sampai tanganya berdarah-darah, disitulah Kian Santang baru sadar kalau kakek itu adalah orang yang di carinya.
Dan akhirnya dengan membaca kalimah syahadat yang diajarkan sang kakek tadi -yang akhirnya menjadi guru spiritualnya- tongkat tersebut dapat dicabut dan siapakah kakek tersebut? Dia adalah tak lain dan tak bukan Syaidina Ali R.A menantu dari baginda Nabi Muhammad S.A.W.
Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang. Dan yang aneh, kebanyakan orang menduga kalau Kian Santang itu adalah Raden Walangsungsang. Padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah Raden Walangsungsang tersebut, yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan justru dialah yang dikira pelaku (Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana) sebagai tokoh yang diceritakan itu. Tujuannya adalah hanya sebagai media dakwah dan penyebaran islam di bumi Cirebon dan sekitarnya.
Sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka Raden Walangsungsang adalah Kian Santang bahkan ada yang menafikan Kian Santang adalah adik Cakrabuana dan kakak dari Rara Santang.
Raden Walangsungsang mengambil cerita ini dari perpustakaan Kerajaan Pajajaran dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya, yang mana Kian Santang setelah pulang dari arab dia ingin meng-islam-kan ayahnya Prabu Purnawarman namun ditolaknya dan Kian Santang memilih meninggalkan istana dan tahtanya di berikan adiknya yaitu Darmayawarman.
Begitu pula Raden Walangsungsang yang pernah merantau ke Arab dan menikahkan adiknya Rara Santang yang diambil istri oleh putra kerajaan mesir waktu itu dan pernikahan berlangsung di Mesir yang dari perkawinan inilah nanti akan lahirlah Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati.
Keinginan Walangsungsang untuk meng-islam-kan Prabu Siliwangi ditolak mentah-mentah dan ayahnya tidak ingin bertarung dengan anaknya maka dia memilih mensucikan diri atau bertapa, konon beliau menjelma macan putih.
Pengambilan kisah penokohan dalam sebuah ceritra seperti ini sebenarnya pernah pula terjadi pada era sebelum Raden Walangsungsang yang tepatnya dilakukan oleh Raja Jaya Baya (Raja Islam pertama di Tanah Jawa) dari Kerajaan Panjalu atau Kediri, dimana waktu masih dipegang Raja Airlangga kerajaan tersebut bernama Kerajaan Kahuripan dan karena kedua anaknya semua meminta tahta maka Kahuripan di bagi dua yaitu Panjalu dan Jenggala. Sepanjang perkembangan dua kerajaan tersebut selalu bermusuhan dan pada masa Kerajaan Panjalu dirajai oleh Jaya Baya, Panjalu mampu menaklukkan Jenggala dan disatukan lagi antara Jenggala dan Panjalu.
Pada waktu Panjalu menaklukkan Jenggala rajanya Jaya Baya meminta Empu Sedha dan Empu Panuluh untuk mengutip naskah dari India yang judulnya Mahabarata. Namun diverifikasi dengan gaya Jawa. Sebagai perlambang atas kemenangan perang saudara Panjalu atas Jenggala. Yang akhirnya kitab tersebut diberi judul Barata Yuda. Dan dalam kisah klasik Jawa ini banyak kalangan masarakat yang mengira bahwa Jaya Baya adalah kelanjutan dari trah Barata yaitu cicit dari Parikesit putra Abimanyu.
Juga kisah lainnya yang serupa pernah pula hadir ke masyarakat yang tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan ajaran syariat terhadap kaum sufi. Maka ketika bergerak menyebarkan islam Wali Songo menurut banyak kalangan membuat cerita Al-Halaj versi Indonesia yaitu Syeh Siti Jenar, yang menurut Doktor Simon dari UGM berdasarkan temuannya karya-karya besar berupa naskah suluk dari Sunan Kalijaga dan lain sebagainya. Dapat dipastikan tokoh Siti Jenar adalah imajener hanya untuk media dakwah dan melindungi islam agar tetap pada ajaran ahlusunah wa jamaah.
Dan sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli sejarah di tanah air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar