Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari
Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita
Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan
"kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali
pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan
hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa
Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque
(Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan
1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak
Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil
kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin
oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan Pajajaran atau
disingkat Pakuan atau Pajajaran (sekarang kota Bogor). Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Kerajaan Sunda dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing
pihak memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu
ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu
hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman
menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in
dubbel, waarvan elke partij een behield".
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa.
Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang
harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak
Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan
menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan
sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggana,
Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah
utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Samudra Pasai.
Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan
juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat
nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim
armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak.
Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana.
Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak
II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus
menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih
terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin
adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu
Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab
buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel
sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang
Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki
Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga
Wong Agung Pase) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di
sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat
(1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah
sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane
(1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah]
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon
berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat
Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten
yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya.
Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati
Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota
Pakuan.
Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi
Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang
pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama
keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur.
Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan
Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India.
Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal.
Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng
terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala.
De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan
tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan
ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao
pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de
Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin
(dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi
terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah.
Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini
berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah
kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa
1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada
lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada
generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat,
tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau
bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu
Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau
wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.
Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi
berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan
Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan
(bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang
perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah
yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh
Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu
tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut.
Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di
bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.
Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran
Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam
Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh
tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus
ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak
dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua
tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan
Galuh.
Sumedang
masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran
Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran
Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut
Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di
Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk
Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah
Cirebon.
Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa
kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat
dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan
terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531
tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing
pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut
menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota
Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten).
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa
untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa
pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan
kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun
tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan
lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia
kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya.
Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk
menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga
sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan
keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam
tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala
(tanda peringatan) buat ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya
besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati
Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri
Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa
sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak
ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat
diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan
si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di
samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya
meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala
ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki.
Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu
"penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja
wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah
lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru
Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal
dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu,
Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit
Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Di antara
dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan
(dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari
Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari
Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini zaman
dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak
11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude
Bantamsche weg)].
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia
membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan
dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja zaman Pajajaran, hanya dia
dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun
pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan
"petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita Panji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar